Penulis : Redaksi

JAKARTA, MITRANUSANTARA.ID — Di tengah sorotan tajam atas ketimpangan kepemilikan lahan dan tata kelola perkebunan sawit, pemerintah akhirnya melangkah maju. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) resmi menaikkan kewajiban alokasi pembangunan kebun masyarakat (plasma) dari 20% menjadi 30% bagi pemegang Hak Guna Usaha (HGU).

Kebijakan ini disambut hangat oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, yang menilai langkah tersebut sebagai angin segar dalam perjuangan panjang reforma agraria. Melansir dari infosawit.com, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, dan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menilai ini bukan sekadar angka, tetapi penanda arah baru keberpihakan negara terhadap masyarakat desa.

“Peningkatan alokasi plasma adalah langkah penting. Alokasi 20 persen saja selama ini kerap tak terpenuhi, apalagi menyasar masyarakat secara adil,” ujar Ketua SPKS, Sabarudin, Senin (12/5/2025).

Ia menegaskan, kebijakan ini mesti menjadi rujukan lintas sektor, tidak hanya domain Kementerian Pertanian atau Kehutanan, melainkan harus ditegakkan oleh ATR/BPN sebagai pengendali utama urusan pertanahan.

Baca Juga  Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto Rotasi dan Mutasi 300 Perwira Tinggi TNI

Lebih dari itu, pemerintah juga mendorong audit atas pelaksanaan kewajiban plasma oleh perusahaan HGU. Gunawan, Penasehat Senior IHCS, menyebut audit ini sebagai respons konkret terhadap jeritan masyarakat desa yang kerap tersingkir dalam geliat bisnis sawit berskala besar.

Namun, tantangan tetap mengadang. Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, mengkritisi tumpang tindih regulasi antar-kementerian yang kerap dimanfaatkan perusahaan untuk menghindari kewajiban.

“Alih-alih memberikan hak atas tanah, plasma kerap diputarbalikkan menjadi kemitraan semu. Ini mengaburkan esensi reforma agraria,” tegasnya.

Surambo juga menyinggung alasan klasik yang sering dikemukakan perusahaan: keterbatasan lahan dan konflik kawasan hutan. Padahal, pengawasan pemerintah masih minim, dan banyak perusahaan leluasa mengabaikan aturan.

Kebijakan ATR/BPN ini berpijak pada Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pentingnya kepemilikan hak atas tanah dan izin usaha sebagai syarat sah operasional perusahaan sawit. Dalam putusan tersebut, alokasi plasma wajib dihitung dari luas HGU, bukan model kemitraan yang rawan manipulasi.

Kini, saatnya membuktikan bahwa kebijakan ini bukan sekadar simbol. Di balik angka 30 persen, tersimpan harapan baru: keadilan agraria yang menyentuh akar rumput. Langkah ini bisa menjadi titik balik arah pembangunan, dari yang selama ini hanya menguntungkan segelintir, menuju Indonesia yang lebih berkeadilan.

Baca Juga  Tatap Muka Bersama Warga Konsel, ASR Serukan Dukung Ganjar-Mahfud

Laporan: Novrizal R Topa

Visited 44 times, 1 visit(s) today
WhatsApp Follow WhatsApp Channel MITRANUSANTARA.ID untuk update berita terbaru setiap hari Follow