JAKARTA, MITRANUSANTARA.ID – Tujuan utama kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah untuk mencapai stabilitas nilai Rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, serta turut menjaga stabilitas sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam pada pasal 7 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Dimana yang dimaksud dengan “stabilitas nilai Rupiah” adalah kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah.
Konsep stabilitas nilai Rupiah mencakup kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar Rupiah. Kestabilan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil. Sementara itu, kestabilan nilai tukar Rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai Rupiah dalam artian inflasi yang rendah, dan stabil, serta kestabilan nilai tukar Rupiah sangat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kestabilan nilai tukar Rupiah diperlukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter yang disebut Inflation Targeting Framework (ITF) sejak 1 Juli 2005. Dalam kerangka tersebut, inflasi menjadi sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia terus melakukan penyempurnaan kebijakan moneter guna memperkuat efektivitasnya. Hal ini dilakukan agar Bank Indonesia dapat menangani dinamika dan tantangan perekonomian yang terus berubah. Sebagai lembaga yang mengatur kebijakan moneter di Indonesia, Bank Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kerangka Kebijakan Moneter
Kerangka kebijakan moneter meliputi strategi kebijakan moneter dan implementasi kebijakan moneter. Kerangka kerja kebijakan moneter yang diimplementasikan oleh Bank Indonesia adalah Inflation Targeting Framework (ITF). ITF adalah suatu kerangka kerja (framework) kebijakan moneter mengenai kisaran target sasaran inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode kedepan serta diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga pasar uang antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia – IndONIA (Indonesia Overnight Index Average) sebagai sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara resmi sejak 1 Juli 2005.
Dengan menetapkan sasaran inflasi yang eksplisit dan diumumkan secara transparan, Bank Indonesia memberikan sinyal kepada masyarakat dan pelaku pasar mengenai komitmen bank sentral dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat kepercayaan publik. Selain itu, dengan menerapkan kerangka kerja yang konsisten dan transparan, Bank Indonesia juga meningkatkan akuntabilitasnya dalam menjalankan kebijakan moneter. Pengalaman krisis keuangan global 2008/2009 mengajarkan pentingnya fleksibilitas bagi bank sentral dalam merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan pengalaman tersebut, Bank Indonesia Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
Flexible ITF
Flexible ITF adalah pengembangan dari kerangka kerja kebijakan moneter ITF yang dibangun dengan tetap mempertahankan elemen-elemen penting ITF. Flexible ITF merupakan kebijakan bank sentral yang memperkuat peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:
Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
Mengapa Flexible ITF?
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini menyadarkan pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Penerapan ITF untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi kecukupan (necessary but not sufficient). Pasca krisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada dalam kondisi stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan.
Untuk itu, keberhasilan penerapan ITF harus didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan.
Bagaimana Flexible ITF diterapkan?
Flexible ITF adalah kebijakan bank sentral yang memperkuat peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. Dimana Penerapan Flexible ITF dilakukan melalui ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan kerangka stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan instrumen bauran kebijakan moneter, makroprudensial, nilai tukar, aliran modal, dan penguatan kelembagaan untuk mengoptimalkan peran koordinasi dan komunikasi kebijakan.
Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Sasaran inflasi ditetapkan oleh pemerintah berkoordinasi dengan bank sentral untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan berbagai informasi yang tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan sebagai basis kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini merupakan implikasi dari adanya efek tunda/time lag kebijakan moneter sehingga target dalam pelaksanaan kebijakaan moneter didasarkan pada perkiraan inflasi ke depan. Upaya pencapaian target tersebut dilakukan melalui respons bauran kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas.
Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus 2016 Bank Indonesia menetapkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai suku bunga kebijakan yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai dengan sasaran. Penggunaan BI7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang setara dengan dengan instrumen moneter 12 bulan.
Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7 hari sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan inflasi sesuai dengan sasarannya. Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama yaitu:
Memperkuat sinyal arah kebijakan moneter.
Memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan.
Mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku bunga di pasar uang antarbank untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.
Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip.
Reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap menerapkan Flexible ITF.
Reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter yang sedang ditempuh.
Reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia.
Penentuan suku bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan sasarannya.
Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah, terutama dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah fokus untuk menjaga keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, serta komunikasi efektif untuk menjaga stabilitas harga pangan dan mengendalikan inflasi. Koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam pengendalian inflasi diwujudkan melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) yang aktif di tingkat pusat dan daerah. Sedangkan, dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Langkah koordinasi dan rekomendasi diberikan untuk memantau serta memelihara stabilitas sistem keuangan secara terus-menerus.
Sumber: www.bi.go.id