Penulis : Redaksi

Oleh: Laode Trifandy Annas

(Politisi Partai Perindo Kabupaten Muna)

Pilkada serentak yang dilaksanakan di Indonesia telah membuka berbagai dinamika politik yang menarik, salah satunya adalah perbedaan dukungan di antara kader partai untuk calon gubernur dan bupati/walikota. Fenomena ini sering kali menciptakan situasi dilematis bagi kader partai, yang berada di persimpangan antara mendukung pilihan partai atau berpegang pada preferensi pribadi dan konstituennya. Dalam beberapa kasus, ketegangan ini bahkan memunculkan apatisme politik di kalangan kader, yang merasa kesulitan untuk mengambil sikap jelas.

  1. Fenomena Politik “Coattail Effect” yang Tak Selalu Berjalan

Dalam Pilkada serentak, logika “coattail effect” atau efek ekor jas, di mana dukungan terhadap calon gubernur seharusnya membantu meningkatkan suara calon bupati/walikota (atau sebaliknya), sering kali tidak berjalan sesuai teori. Kader partai, terutama di tingkat lokal, tidak selalu merasa harus mendukung calon gubernur yang diusung partainya jika mereka memiliki pertimbangan politik lokal yang berbeda. Hal ini menciptakan perbedaan dalam dukungan politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Misalnya, seorang kader partai di daerah mungkin merasa lebih dekat dengan calon bupati atau walikota tertentu yang memiliki hubungan personal atau kepentingan lokal yang sejalan, meskipun partainya secara resmi mendukung calon gubernur yang berbeda. Situasi ini bisa memicu dilema, di mana kader harus memilih antara menjalankan instruksi partai atau mempertahankan kedekatan dengan figur lokal yang mungkin lebih populer di mata pemilih daerahnya.

  1. Kepentingan Lokal vs Kepentingan Partai
Baca Juga  Jelang Pilwali Kendari, Yudianto Mahardika Ambil Formulir di Partai Perindo

Kader partai di daerah sering kali lebih terikat dengan kepentingan lokal daripada dengan arahan partai di tingkat provinsi atau nasional. Mereka memahami dinamika sosial dan politik di wilayah mereka, yang mungkin berbeda dengan strategi makro yang dirumuskan di tingkat atas. Dalam kasus seperti ini, jika partai memaksakan dukungan kepada calon gubernur yang tidak populer di daerah tersebut, kader partai bisa merasa terjebak dalam situasi yang sulit.

Di satu sisi, mendukung keputusan partai bisa mengamankan posisi mereka dalam struktur partai di tingkat provinsi atau pusat. Namun, di sisi lain, hal itu bisa berpotensi merusak hubungan mereka dengan konstituen lokal, yang memiliki preferensi berbeda. Kader yang berada dalam dilema ini sering kali memilih bersikap pragmatis, mendukung calon yang menurut mereka lebih mungkin memenangkan hati pemilih, bahkan jika itu bertentangan dengan arahan partai.

  1. Fragmentasi dalam Dukungan dan Dampaknya Terhadap Elektabilitas

Perbedaan dukungan ini sering kali menciptakan fragmentasi di dalam partai, di mana kader partai tidak bergerak secara solid untuk mendukung kandidat di semua tingkatan. Dalam jangka panjang, fragmentasi ini bisa mempengaruhi elektabilitas partai di mata pemilih, karena partai terlihat tidak memiliki arah yang jelas atau soliditas dalam mendukung calon-calon yang diusungnya. Fenomena ini juga membuka peluang bagi lawan politik untuk memanfaatkan perpecahan internal, memperlemah posisi partai dalam kontestasi politik.

Baca Juga  Taano Karno, Figur Dermawan dan Religius dalam Perhelatan Politik Sultra

Lebih jauh, fragmentasi ini dapat menciptakan kebingungan di kalangan pemilih, terutama di daerah di mana kader partai memainkan peran penting dalam mobilisasi suara. Ketika kader partai mendukung calon yang berbeda-beda di tingkat gubernur dan bupati/walikota, pemilih mungkin kesulitan untuk memahami posisi resmi partai, dan ini bisa berujung pada apatisme atau ketidakpedulian terhadap proses politik.

  1. Dilema atau Apatisme Politik?

Perbedaan dukungan politik ini sering kali berujung pada dua sikap ekstrem: dilematis atau apatis. Kader yang berada dalam dilema sering kali tidak dapat mengambil sikap jelas, terjebak antara keinginan untuk mengikuti arahan partai dan kebutuhan untuk menjaga hubungan dengan konstituen lokal. Dalam banyak kasus, ketidakmampuan untuk memutuskan membuat kader menjadi apatis, enggan terlibat aktif dalam kampanye atau mobilisasi suara.

Apatisme politik ini dapat merugikan partai di berbagai tingkatan. Kader yang tidak aktif dalam mendukung kampanye, atau bahkan bersikap pasif-agresif terhadap calon yang diusung, dapat mengurangi efektivitas mesin politik partai dalam memenangkan pemilu. Selain itu, apatisme politik ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap partai, yang dianggap tidak mampu menjaga soliditas internal.

  1. Strategi Penyatuan Dukungan

Untuk menghindari perpecahan dan apatisme, partai politik perlu menerapkan strategi yang lebih inklusif dalam menentukan dukungan calon di berbagai tingkatan Pilkada. Dialog yang lebih intens antara pimpinan partai di tingkat pusat dan daerah sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan lokal tetap diakomodasi, tanpa mengorbankan visi partai secara keseluruhan.

Baca Juga  Eka Nurvisanti Suparto, Caleg DPRD Baubau Dapil Wolio yang Terinspirasi Umar Samiun

Selain itu, partai perlu mendorong pendekatan kolaboratif antara calon gubernur dan bupati/walikota untuk membangun koalisi yang kuat dan solid. Dengan adanya sinergi antara kedua belah pihak, dukungan dari kader di tingkat daerah bisa lebih terkoordinasi dan konsisten, sehingga mengurangi potensi perpecahan internal.

Kesimpulan

Perbedaan dukungan politik dalam Pilkada serentak sering kali menciptakan dilema di kalangan kader partai, terutama di tingkat lokal. Ketegangan antara kepentingan lokal dan arahan partai di tingkat pusat atau provinsi dapat memicu fragmentasi internal, yang berpotensi merusak elektabilitas partai dan menciptakan apatisme di kalangan kader. Untuk mengatasi masalah ini, partai politik perlu lebih inklusif dalam proses pengambilan keputusan, serta mendorong sinergi antara calon di berbagai tingkatan, sehingga dukungan politik dari kader partai dapat terkoordinasi dengan baik.

Pada akhirnya, pilihan kader partai untuk mendukung calon gubernur atau bupati/walikota bukan hanya soal loyalitas kepada partai, tetapi juga tentang bagaimana mereka menavigasi kepentingan lokal dan kebutuhan konstituen di daerah mereka. Keberhasilan partai dalam mengatasi dilema ini akan sangat menentukan seberapa solid mesin politik partai bekerja di Pilkada serentak dan seberapa kuat daya tarik partai di mata pemilih.

Visited 20 times, 1 visit(s) today