Mirisnya dikeroyok “Pengadilan” dan Korporasi
Oleh: Erytnanda Akbar
Saksi Peristiwa Mafia Peradilan
Disclaimer: tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan sudah dilaporkan ke KY RI dan Bawas MA RI. Semua dugaan dalam tulisan ini masih dalam tahap pemeriksaan.
Ketika warga negara menghadapi sengketa atau kehilangan hak, Pengadilan seharusnya menjadi saluran utama untuk mencari keadilan. Sebagai institusi netral, Pengadilan diisi oleh hakim yang bertugas memeriksa aduan masyarakat berdasarkan bukti dan keterangan saksi. Setelah proses pemeriksaan selesai, hakim akan memutuskan perkara berdasarkan fakta-fakta persidangan.
Namun, bagaimana jadinya jika Pengadilan justru dipenuhi oleh oknum hakim yang dikendalikan oleh korporasi? Korporasi yang kerap diadukan oleh masyarakat karena melakukan kesewenang-wenangan, seperti mengambil alih lahan warga secara sepihak. Ketika masyarakat mengadu dan berharap keadilan, yang terjadi justru sebaliknya—oknum hakim bekerja sama dengan korporasi untuk menindas warga yang mencari keadilan.
Mencari keadilan di negeri Indonesia tercinta terasa semakin sulit. Sudah ada 11 (sebelas) putusan pengadilan yang kami pegang, namun hak yang diperjuangkan belum juga diberikan. Putusan-putusan tersebut seharusnya cukup untuk mengembalikan hak rakyat, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Pada 9 April 2025, penulis melaporkan 4 (empat) oknum hakim dari Pengadilan Negeri Unaaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, atas dugaan keterlibatan dalam praktik mafia peradilan. Sebenarnya terdapat 6 (enam) hakim yang diduga terlibat, namun 2 (dua) di antaranya belum teridentifikasi secara jelas. Oleh karena itu, hanya 4 (empat) hakim yang dilaporkan secara resmi ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas MA RI.
Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan penyimpangan proses peradilan yang dialami langsung oleh penulis. Peristiwa ini didokumentasikan melalui rekaman suara, rekaman CCTV, video jarak jauh oleh fotografer profesional, serta tangkapan layar percakapan WhatsApp. Bukti-bukti tersebut telah disiapkan sejak awal, ketika penulis mulai mencurigai adanya keterlibatan oknum PN dalam perkara yang sedang berjalan. Semua bukti telah diserahkan dan akan diuji oleh pemeriksa serta hakim Komisi Yudisial RI.
Vonis yang diharapkan dari laporan ini adalah pemecatan terhadap oknum hakim yang terlibat. Sebab, jika tidak ditindak tegas, perbuatan mereka akan terus berulang dan
merugikan rakyat lain yang datang ke pengadilan dengan harapan mendapatkan keadilan dari palu hukum yang mereka pegang.
Menang Gugatan Sertamerta, Tapi Putusan Diompongkan
Dasar hukum putusan serta merta tercantum dalam Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) RBg jo. Pasal 332 Rv, serta SEMA No. 3 Tahun 2000. Putusan serta merta hanya dapat dijatuhkan dalam kondisi tertentu, salah satunya adalah ketika gugatan didasarkan pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang diajukan.
Sebelum menang Gugatan Serta Merta, perjuangan AI Cs dimulai dari kemenangan atas kepemilikan lahan yang telah inkrah melawan PT VDNI, dengan status declatoir pada tahun 2020–2021. Dalam perkara No. 26/Pdt.G/2020/PN Unh, AI Cs menang empat kali berturut-turut, dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali (PK). Berdasarkan kemenangan tersebut, pada tahun 2023 diajukan gugatan sertamerta yang memohonkan pengosongan lahan. SertaMerta pertama kalah, sehingga penulis mengganti kuasa hukum dan mengajukan gugatan sertamerta kedua yang akhirnya dimenangkan pada tahun 2024.
Sayangnya, kemenangan tersebut terasa ―ompong‖ karena redaksi putusan yang seharusnya tegas justru dilemahkan oleh Majelis Hakim. Dalam permohonan, penulis meminta agar pihak yang wajib mengosongkan lahan AI Cs adalah Tergugat (PT VDNI) dan ―pihak lain‖— Pihak lain yang dimaksud adalah siapa pun yang berada di atas lahan tersebut, termasuk PT OSS.
Namun, Majelis Hakim yang diketuai oleh hakim berinisial MIN tampak mengabaikan fakta-fakta lapangan saat Sidang Pemeriksaan Setempat. Tulisan besar ―PT OSS‖ di papan nama gedung, branding kendaraan, sertabranding seragam ratusan pekerja yang lalu lalang di depan mata hakim seperti hanya halusinasi. Dalam pertimbangannya, Ketua Majelis MIN menulis: ―tidak ada orang lain yang menguasai selain PT VDNI, sehingga terbukti PT VDNI telah menguasai tanah objek sengketa.‖
Ironisnya, dalam Berita Acara Sidang Pemeriksaan Setempat yang ke-9, Ketua Majelis MIN justru menandatangani dokumen yang memuat pernyataan dari PT VDNI sendiri, yang menyatakan: ―menurut Tergugat (PT VDNI), tanah objek sengketa ini dikuasai oleh PT OSS.‖
Pertemuan Ketua PN Yang Tidak Pantas
Alasan hilangnya frasa ―Pihak Lain‖ pada putusan serta merta akhirnya bisa diidentifikasi karena Ketua PN Unaaha, yang juga pimpinan hakim MIN, memiliki interaksi langsung dengan petinggi PT. OSS dan PT. VDNI. Interaksi ini terlihat jelas saat Ketua PN menjamu petinggi kedua perusahaan tersebut di ruang kerjanya pada tanggal 26 Januari 2024. Pertemuan ini terjadi hanya delapan hari setelah putusan
serta merta yang “ompong” ditetapkan pada 18 Januari 2024, di mana frasa “Pihak Lainnya” dihilangkan agar PT. OSS tidak tersentuh dan terdampak sanksi hukum.
Jamuan ini mudah dimaknai sebagai ucapan terima kasih dari PT. VDNI dan PT. OSS kepada Ketua PN Unaaha atas keberhasilannya “mengompongkan” putusan tersebut. Peristiwa pertemuan ini telah diliput oleh berbagai media elektronik dan dapat ditemukan dengan kata kunci “Ketua PN Unaaha bertemu PT VDNI PT OSS”. Atas kejadian yang berindikasi pelanggaran etik ini, ketua pengadilan tersebut telah diadukan oleh berbagai pihak, termasuk penulis, ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas MA RI. Sayangnya, hasil aduan Penulis kepada Bawas RI tidak dijelaskan transparan apa hasilnya kepada penulis sebagai pelapor.
Ketua PN Berganti: Apa boleh Ketua PN tidak tunduk pada Putusan?
Dari kemenangan kepemilikan lahan AI Cs, ketiga perusahaan (PT VDNI, PT VDNIP, dan PT OSS) belum menunjukkan itikad baik untuk mengakui kepemilikan lahan AI Cs, apalagi melakukan pembelian atau pembayaran secara sah dan legal.
Karena tidak ada niat baik dari ketiga perusahaan asing tersebut, AI Cs kemudian mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Unaaha yang baru. Dasar permohonan eksekusi tersebut antara lain dilandasi Putusan Serta Merta No. 22/Pdt.G/2023/PN Unh, yang antara lain berbunyi:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan para penggugat (AI Cs) untuk seluruhnya.
2. Menghukum tergugat yang menguasai objek sengketa untuk mengosongkan dan menyerahkan objek sengketa kepada para penggugat tanpa syarat dan beban tanggungan apapun di atasnya.
3. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (serta merta) meskipun ada upaya verzet, banding, kasasi, perlawanan eksekusi, dan/atau peninjauan kembali.
Namun, kejanggalan terjadi. Eksekusi yang seharusnya berjalan lancar dengan dasar hukum yang terang benderang justru tertunda akibat sikap Ketua PN Unaaha yang berubah drastis dengan menerima permohonan gugatan perlawanan eksekusi. Ia tampak tidak tunduk pada putusan serta merta yang seharusnya tetap dapat dilaksanakan meskipun ada perlawanan.
Sikap ini menjadi pertunjukan yang kontras. Padahal, penetapan eksekusi merupakan keputusan Ketua PN yang sangat pruden, biasanya diambil dengan penuh kehati-hatian, analisa hukum mendalam, detail, komprehensif, serta pertimbangan hukum yang kuat, termasuk memperhatikan kekuatan putusan serta merta.
Ketua PN sebenarnya dapat menolak gugatan perlawanan eksekusi dengan dasar kepatuhan pada putusan pengadilan, khususnya putusan serta merta. Perlu ditegaskan, putusan serta merta bukanlah putusan yang mudah dikabulkan. Jenis putusan ini hanya
diberikan jika sebelumnya sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan erat dengan pokok gugatan yang diajukan—persis seperti kondisi perkara kami.
By The Way, Ketua PN penerima Perlawanan Eksekusi ini adalah Wakil Ketua PN Unaaha di jaman Ketua PN sebelumnya menerima dan menjamu PT. VDNI dan PT. OSS di ruang kerjanya. Riwayat fakta ini tidak sulit dinalar bagaimana rendahnya kadar netralitas Pengadilan Unaaha di bawah kepemimpinan Ketua PN saat ini. Keanehan ini pada akhirnya kami terima saja. Sebagai warga biasa, kami khawatir pengaduan atau langkah lain justru berbuah pada semakin dipersulitnya proses di birokrasi pengadilan.
Dugaan Oknum Hakim Aktif Melobi
Dengan status kepemilikan lahan AI Cs yang sudah inkracht, mustahil bagi PT OSS untuk membatalkan 7 (tujuh) dari 11 (sebelas) putusan pengadilan yang secara tegas menetapkan AI Cs sebagai pemilik sah lahan tersebut. Terlebih, PT OSS hanya berlandaskan kepemilikan SHGB yang diperoleh secara ilegal dari sisi konstitusi, sementara SHGB atas objek sengketa itu sendiri sudah pernah ditolak dalam sidang Peninjauan Kembali (PK).
Di tengah proses sidang perlawanan eksekusi, penulis menerima kabar melalui WhatsApp dari seseorang berinisial GA. Ia menyampaikan bahwa akan ada utusan yang dikirim oleh Ketua Majelis Hakim, untuk menemui penulis, dan sebaiknya penulis menerima utusan tersebut. Menurut cerita GA, ucapan RDZ disampaikan langsung kepadanya ketika berada di kantin PN Unaaha.
Saat itu mulai terasa kejanggalan sekaligus kengerian perkara ini. Bayangkan, seorang Ketua Majelis Hakim bisa menitipkan pesan kepada pihak yang sedang berperkara. Informasi GA tidak bisa dianggap sepele karena ia memiliki ordal (orang dalam) di lingkungan PN Unaaha.
Tak lama setelah pesan dari GA, penulis kembali dihubungi seorang kenalan lain berinisial PHB. Ia mengajak bertemu di Unaaha dan berniat mengenalkan penulis dengan seseorang yang bekerja di PN Unaaha. PHB menjelaskan bahwa orang PN tersebut memiliki kedekatan dengan perusahaan PT VDNI dan PT OSS, serta dapat menjadi perantara untuk mendamaikan AI Cs dengan pihak perusahaan.
Menariknya, GA dan PHB adalah dua orang yang tidak saling mengenal, tetapi memberikan informasi serupa: adanya pihak PN Unaaha yang ingin menemui penulis.
Terkait ajakan PHB, penulis akhirnya mengiyakan setelah sebelumnya menolak tiga kali. Penolakan tersebut semata-mata karena lokasi pertemuan yang diminta selalu di Unaaha. Penulis khawatir terhadap faktor keamanan, baik risiko terhadap keselamatan jiwa maupun potensi jebakan hukum atau masalah sejenis.
Empat Pertemuan Hitam dengan Hakim YAP
Pertemuan perdana terjadi di sebuah kedai kopi di Kendari. Awalnya, penulis mengira yang akan hadir hanyalah staf dari Pengadilan Negeri Unaaha, atau paling tinggi seorang Panitera Muda. Tidak pernah terbayangkan bahwa yang datang justru seorang hakim, dan lebih mengejutkan lagi—hakim yang menangani perkara Perlawanan Eksekusi AI Cs vs PT OSS.
Di awal obrolan, hakim YAP yang mengenakan baju biru langsung memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa ia adalah hakim yang menangani perkara tersebut. Perasaan penulis saat itu campur aduk—antara kaget, bingung, dan kecewa.
Kaget? Tentu saja. Bagaimana mungkin seorang hakim berani bertemu dengan pihak yang terkait dalam perkara yang sedang ditanganinya? Ini adalah pelanggaran serius dalam etika peradilan. Meskipun penulis bukan pihak langsung dalam perkara, Penulis adalah suami dari salah satu pihak yang berperkara.
Kecewa? Sangat. Seorang hakim seharusnya menjaga martabat dan integritasnya. Namun, dalam pertemuan ini, hakim YAP justru aktif mencari pihak berperkara untuk berkomunikasi di luar jalur resmi pengadilan. Profesi yang kerap disematkan gelar ―Yang Mulia‖ seolah tercemar oleh tindakan yang merendahkan jubah kehormatan lembaga peradilan. Bahkan, istilah ―wakil Tuhan‖ yang sering digunakan dalam doktrin hukum terasa kehilangan makna.
Meski rasa kaget dan kecewa sempat mendominasi, penulis mencoba melihat sisi lain dari peristiwa ini. Penulis anggap agresivitas hakim dalam menemui Penulis sebagai indikasi bahwa posisi tawar AI Cs dalam perkara ini cukup kuat. Padahal, lawan Ai Cs adalah salah satu korporasi terkaya di Sulawesi Tenggara—pelaku investasi asing terbesar di Pulau Sulawesi.
Pertemuan Hitam I
Dalam pertemuan perdana yang berlangsung di sebuah kedai kopi di Kendari, terungkap sejumlah hal mengejutkan. Pertama, hakim YAP menyampaikan bahwa ia diminta oleh petinggi perusahaan untuk mendamaikan pihak perusahaan dengan AI Cs. Syaratnya: pihak AI Cs harus menurunkan harga lahan dari nilai yang sebelumnya dibahas dalam ruang mediasi pengadilan. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa harga lahan diturunkan dari Rp 90 miliar menjadi Rp 28 miliar.
Kedua, hakim YAP meminta fee sebesar Rp 2 miliar untuk dirinya, tim, dan ―orang di atas.‖ Dengan demikian, total harga yang akan ditawarkan kepada perusahaan adalah Rp 30 miliar.
Ketiga, hakim YAP menawarkan untuk mempertemukan penulis dengan perwakilan resmi dari PT VDNI dan PT OSS dalam pertemuan kedua, guna menyepakati tawar-menawar harga lahan secara langsung.
Pertemuan Hitam II
Pertemuan kedua terjadi sekitar tiga minggu setelah pertemuan pertama, tepatnya pada 26 Januari 2025, di kedai kopi yang sama. Dalam pertemuan ini, Hakim YAP meminta maaf karena tidak dapat menghadirkan perwakilan dari PT. VDNI dan PT. OSS. Ia berjanji akan menjadwalkan pertemuan ketiga dengan kehadiran perwakilan perusahaan untuk membicarakan detail harga hingga tercapai kesepakatan, seperti yang ia janjikan di pertemuan pertama. YAP juga meminta penulis untuk tidak memberitahukan tentang pertemuan ini kepada pengacara Andre Darmawan.
Penulis menilai pertemuan kedua ini hanya bersifat basa-basi, karena Hakim YAP berusaha menjaga kepercayaan penulis setelah tidak menepati janjinya. Secara tidak sengaja, penulis bertemu dengan seorang fotografer yang dikenalnya di tempat yang sama. Sebelum YAP tiba, penulis sudah sepakat dengan fotografer tersebut untuk mendokumentasikan pertemuan secara candid. Bukti dokumentasi ini juga telah diserahkan ke Komisi Yudisial RI.
Pertemuan Hitam III
Pertemuan ketiga, yang berlangsung pada 8 Februari 2025, menghasilkan beberapa poin penting. Hakim YAP menyampaikan bahwa PT. VDNI dan PT. OSS telah mengubah sikap dan tidak bersedia membayar sebelum putusan gugatan perlawanan eksekusi ditetapkan. YAP berjanji akan menanyakan kehendak majelis hakim lain sebelum rapat permusyawaratan hakim. YAP juga mengajak penulis untuk bertemu kembali antara tanggal 10-13 Februari 2025 dan memastikan jadwal putusan akan molor dua hingga tiga kali.
Penulis merasa pertemuan ini semakin menjauh dari tujuan damai yang dijanjikan sebelumnya. Mulai kehilangan kepercayaan dan curiga bahwa YAP memiliki agenda tersembunyi. Penulis menyimpulkan bahwa keengganan perusahaan untuk membayar sebelum putusan menunjukkan bahwa pertemuan selama ini hanyalah gimmick agar YAP bisa mendapatkan keuntungan dari perusahaan. Penulis memiliki firasat bahwa pihak AI Cs akan dipaksa kalah atau diarahkan untuk menyuap agar bisa menang. Karena tidak ingin terlibat dalam suap dan sudah tidak percaya pada YAP, penulis menolak ajakan pertemuan selanjutnya melalui PHB, perantara YAP. Bukti percakapan ini telah diserahkan kepada Komisi Yudisial RI.
Pertemuan Hitam IV
Setelah menolak bertemu sebelumnya, penulis tiba-tiba dihubungi lagi oleh PHB pada sore hari tanggal 23 Februari 2025. PHB menyampaikan bahwa ada desakan dari hakim YAP untuk bertemu kembali. Meskipun awalnya menolak karena tidak percaya lagi dan
ingin menghindari pembahasan suap, penulis mengiyakan setelah PHB meyakinkannya bahwa pertemuan ini akan membahas angka pembayaran dari perusahaan. Pada pertemuan ini, penulis membawa alat perekam audio.
Karena PHB berhalangan ikut hadir, penulis diminta berkomunikasi langsung dengan YAP, inilah untuk pertama kalinya komunikasi HP dengan YAP. Dari pertemuan ini, beberapa poin terungkap:
- Hakim YAP menyatakan bahwa perusahaan hanya sanggup membayar Rp 10 miliar.
- YAP menjelaskan bahwa majelis hakim dan perusahaan telah sepakat untuk memenangkan PT. OSS dalam putusan yang akan dikeluarkan pada 24 Februari 2025, dengan alasan keberadaan SHGB.
- Ketua PN disebut telah mengumpulkan majelis hakim dan menegaskan bahwa ia akan tetap menerbitkan pembatalan eksekusi karena keberadaan SHGB PT. OSS, terlepas dari siapapun yang majelis hakim menangkan.
- YAP membujuk penulis agar pihak AI Cs tidak mengajukan banding setelah kalah dalam putusan PN.
- YAP menyarankan agar setelah kekalahan AI Cs berkekuatan hukum tetap (inkracht), AI Cs mengajukan gugatan baru untuk membatalkan SHGB PT. OSS. YAP meyakinkan bahwa ia akan mengawal dan membantu gugatan baru tersebut.
- YAP mengklaim bahwa apa yang ia lakukan dan sarankan telah didukung oleh Pejabat Hakim di Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan Senior Asisten Kepala Kamar Perdata Mahkamah Agung RI.
- YAP membujuk penulis bahwa meskipun kalah, AI Cs akan tetap dibayar 14 hari setelah masa banding berakhir.
Analisis Putusan Yang Patut Dipertanyakan
Agenda tersembunyi Hakim YAP terungkap pada pertemuan keempat. Ia berencana menjebak pihak AI Cs agar PT. OSS bisa terhindar dari eksekusi. Rencananya, jika putusan Pengadilan Negeri (PN) Unaaha yang memenangkan PT. OSS menjadi inkracht (berkekuatan hukum tetap), Ketua PN akan membatalkan penetapan eksekusi.
YAP dan majelis hakim memutuskan AI Cs kalah dalam gugatan perlawanan eksekusi PT OSS. Pertimbangan dalam putusan tersebut menurut analisis penulis tidak sejalan dengan fakta hukum. Majelis hakim menilai objek sengketa sah diperoleh PT OSS sejak jual-beli pada 12 November 2020, atau tujuh bulan sebelum putusan pengadilan yang menyatakan kepemilikan sah lahan.
Fakta Hukum yang Diabaikan
Pertimbangan putusan ini bermasalah karena mengabaikan fakta hukum yang ada. Berdasarkan akta jual-beli tanah, ada klausul PT VDNIP (penjual) menjamin bahwa objek jual-beli tersebut bebas dari sengketa. Padahal, lahan AI Cs sudah berstatus objek sengketa sejak gugatan didaftarkan di pengadilan pada 29 September 2020, yaitu 44 hari sebelum jual beli terjadi.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat perjanjian, salah satu syaratnya adalah “adanya causa yang halal”. Karena objek sengketa tidak memenuhi syarat ini, maka jual-beli tersebut seharusnya batal. Pertimbangan hakim yang mengesahkan transaksi ini tentu patut dipertanyakan sesuai norma-norma hukum.
Pembatalan Putusan oleh Pengadilan Tinggi
Putusan Pengadilan Negeri Unaaha yang mengandung keanehan karena menyimpang dari fakta persidangan dan dengan pertimbangan yang keliru tersebut akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Pengadilan Tinggi memenangkan AI Cs dengan menolak perlawanan dari PT. OSS, dan menyatakan bahwa PT. OSS bukanlah pihak yang benar. Keputusan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan hukum, termasuk dua poin yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai jual-beli lahan yang tidak memenuhi syarat “causa yang halal” karena statusnya sebagai objek sengketa.
Reformasi Peradilan yang Mendesak
Pengawasan hakim di Indonesia sudah saatnya dibenahi secara mendasar. Regulasi yang ada tidak lagi cukup menjawab tantangan zaman maupun luasnya wilayah Indonesia. Pemerintah membuka pintu investasi selebar-lebarnya, tetapi bersamaan dengan itu potensi sengketa hukum antara masyarakat dan pengusaha juga semakin besar. Bahayanya, pengusaha yang oportunis dapat memanfaatkan kekuatan finansial untuk mencemari peradilan.
Kita tidak boleh membiarkan pengadilan menjadi sumber ketidakadilan baru. Keadilan harus diberikan kepada pihak yang benar berdasarkan hukum , bukan kepada pihak yang punya dana besar. Dugaan pelanggaran yang Penulis dan Ai Cs alami hanyalah satu contoh. Bukan mustahil, ada pola sistematis yang sengaja diciptakan untuk melindungi korporasi kuat dan menekan masyarakat kecil. Bahkan, indikasi suap dan aliran dana ilegal tidak bisa dikesampingkan.
Penguatan Peran KY
Komisi Yudisial (KY) seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawasi hakim. Namun saat ini, kantor penghubung KY di daerah hanya berfungsi layaknya penerima aduan. Padahal, pengawasan efektif baru akan terasa bila hakim benar-benar sadar bahwa setiap langkahnya dipantau KY.
Kantor penghubung perlu di-upgrade perannya, bukan sekadar penerima laporan. Ia harus menjadi simbol kehadiran KY di daerah, sehingga hakim selalu ingat bahwa setiap tindakan yang menyimpang bisa langsung terdeteksi.
Lemahnya Tindakan Bawas RI
Laporan masyarakat terhadap pelanggaran hakim sering kali berakhir tanpa kejelasan. Alih-alih memberi efek jera, mekanisme pengawasan Bawas RI justru terkesan melindungi hakim terlapor. Inilah sebabnya mafia peradilan di PN Unaaha semakin berani, berpindah rezim dari satu Ketua PN ke Ketua PN berikutnya, namun tetap menjalankan praktik yang sama.
Ketika lembaga pengawas tidak transparan dan tidak tegas, publik akan semakin kehilangan kepercayaan. Dan pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban terbesar.
Mengatasi Keterbatasan Wewenang KY
Memang benar, KY tidak bisa memeriksa aspek teknis yudisial karena alasan menjaga kemerdekaan hakim. Namun manipulasi sering terjadi justru dalam pertimbangan hakim, yang bisa dibuat menyalahi fakta persidangan. Negara lain seperti Prancis dan Italia memberi KY kewenangan terbatas untuk mengawasi hal tersebut. Indonesia harus berani mengambil langkah serupa jika ingin reformasi peradilan benar-benar terjadi.
Layanan Laporan Masyarakat yang Lamban
Proses tindak lanjut laporan penulis di KY memakan waktu berbulan-bulan. Dari pelaporan, konfirmasi, hingga pemeriksaan bisa memakan empat sampai lima bulan. Sementara itu, hakim terlapor tetap memimpin sidang dan memutus perkara. Situasi ini jelas merugikan masyarakat dan memberi ruang bagi pelanggaran berulang.
Untuk mempercepat penanganan, sebagian kewenangan seharusnya didelegasikan ke kantor perwakilan daerah. Dengan begitu, laporan masyarakat bisa segera diproses tanpa menumpuk di pusat, sekaligus menghemat biaya dan waktu.
Perlunya Pembatasan Hakim Terlapor
Begitu ada laporan resmi masuk, hakim terlapor seharusnya mendapat pembatasan kewenangan sementara hingga proses pemeriksaan selesai. Tanpa pembatasan, hakim masih dapat membuat keputusan yang berpotensi merugikan pihak berperkara. KY di daerah perlu diberi wewenang lebih untuk melakukan pengawasan intensif agar hakim terlapor tidak menyalahgunakan jabatannya selama proses pemeriksaan.
Kesimpulannya, reformasi peradilan telah menjadi kebutuhan mendesak. Sistem pengawasan yang ada saat ini belum optimal dalam mencegah dan menindak dugaan penyimpangan proses peradilan.