MUNA, MITRANUSANTARA.ID — Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Muna yang memotong insentif dokter dengan dalih efisiensi anggaran menuai kritik keras dari masyarakat. Kamal Rahmat, tokoh muda Muna yang aktif mengawal isu kebijakan publik, menyebut langkah tersebut sebagai bentuk ketidakadilan terhadap tenaga medis dan mencerminkan lemahnya tata kelola manajemen di internal rumah sakit.
“Pemda sangat keliru. Memangkas insentif dokter bukan hanya melanggar etika pemerintahan, tapi juga melanggar hukum,” tegas Kamal, Senin (2/6/2005).
Kamal menyebutkan, pemotongan sepihak terhadap hak dokter, baik dokter umum maupun spesialis, bertentangan dengan sejumlah regulasi yang secara tegas melindungi hak-hak tenaga kesehatan. Ia merujuk pada empat aturan utama:
PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLUD, khususnya Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa BLUD wajib memenuhi hak-hak pegawai, termasuk insentif.
Permenkes No. 28 Tahun 2016, Pasal 4 ayat (1), yang menegaskan bahwa insentif dokter wajib dibayarkan sesuai ketentuan.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat (1), yang menjamin hak pekerja atas upah yang layak.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat dan keinginannya, termasuk melalui aksi mogok kerja.
“Tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan Pemda memotong insentif secara sepihak hanya karena alasan efisiensi. Ini melanggar perjanjian kerja dan hak tenaga medis,” tambahnya.
Kamal juga menegaskan bahwa dokter memiliki hak konstitusional untuk menyatakan pendapat dan melakukan protes, termasuk mogok kerja, jika hak-hak mereka tidak dipenuhi. Namun, ia mengingatkan bahwa langkah tersebut harus melalui prosedur hukum yang tepat, seperti mengajukan keluhan resmi dan, bila perlu, gugatan hukum terhadap Pemda.
Lebih lanjut, Kamal menyoroti peran Bupati dan buruknya tata kelola rumah sakit sebagai akar persoalan. Ia menilai mogoknya tenaga medis hari ini bukan sekadar reaksi spontan, tetapi akumulasi dari ketidakmampuan manajemen dalam mengelola sistem keuangan berbasis BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).
“Bupati sebagai kepala daerah harus mendorong pengelolaan BLUD yang transparan dan profesional. Jangan dibiarkan mengambang. Direktur rumah sakit wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) ke DPRD sebagai lembaga pengawas, dan juga ke masyarakat Muna secara umum,” ujar Kamal.
Ia menilai kunci dari kemelut ini adalah akuntabilitas. “Mogoknya tenaga medis hari ini adalah dampak langsung dari ketidakmampuan Direktur RSUD dalam mengelola keuangan BLUD. Ini harus dibuka terang-terangan. Pengelolaan BLUD harus sesuai aturan main, dan dipertanggungjawabkan secara terbuka di hadapan DPRD dan rakyat Muna,” tegasnya lagi.
Sebelumnya, DPRD Muna telah merespons kegelisahan para dokter dengan mengeluarkan rekomendasi agar besaran insentif dikembalikan ke angka awal: Rp30 juta untuk dokter spesialis dan Rp7,5 juta untuk dokter umum. Namun, rekomendasi itu belum juga ditindaklanjuti oleh RSUD dr. H. LM Baharuddin MKes, karena terbitnya peraturan bupati (Perbup) baru yang menetapkan nominal lebih rendah, Rp20 juta untuk spesialis dan Rp6 juta untuk dokter umum.
Ketua DPRD Muna, Muhamad Rahim, dalam wawancaranya pada Selasa (27/5/2025), menyampaikan bahwa pihaknya hanya memfasilitasi dialog antara eksekutif, RSUD, dan para dokter.
“Kita tidak menabrak aturan, tapi mencari solusi terbaik. Kebijakan tetap ada di tangan eksekutif,” ujar Rahim.
Namun bagi Kamal, tanggung jawab eksekutif tidak bisa ditunda. “Langkah DPRD sudah tepat. Tinggal bagaimana Pemda menindaklanjuti. Jangan tutup mata. Ini menyangkut keadilan dan penghargaan terhadap profesi dokter,” ujarnya.
Ia berharap polemik ini segera diselesaikan sebelum berdampak sosial lebih luas.
“Kalau terus dibiarkan, ini bisa menciptakan krisis kepercayaan. Jangan biarkan masyarakat kehilangan layanan kesehatan, hanya karena pemerintah tidak mampu mengelola anggaran dan komunikasi secara bijak,” tutup Kamal.
Laporan: Rizal