MAKASSAR, MITRANUSANTARA.ID — Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2025 diwarnai dengan terbitnya sebuah buku bertema hukum berjudul Konferensi Pers Untuk Tipikor, Perlukah?. Buku ini diharapkan memberi kontribusi nyata bagi penguatan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Buku tersebut ditulis oleh Dr. Rudy, seorang jaksa sekaligus praktisi hukum, yang mengulas secara kritis praktik konferensi pers dalam perkara korupsi. Fokus utama buku ini adalah penayangan tersangka dalam konferensi pers dan implikasinya terhadap asas praduga tak bersalah.
Dalam keterangannya, Dr. Rudy menegaskan bahwa konferensi pers sejatinya merupakan instrumen komunikasi strategis bagi institusi penegak hukum. Namun, penggunaannya harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
“Konferensi pers memang penting untuk menyampaikan informasi kepada publik, tetapi dalam perkara korupsi, pelaksanaannya harus mempertimbangkan aspek HAM, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum,” ujarnya.

Buku ini mendapat apresiasi luas dari berbagai tokoh dan praktisi hukum nasional. Sejumlah nama memberikan kata pengantar dan sambutan, di antaranya Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Pertimbangan dan Pengembangan Hukum Katarina Endang Sarwestri, Plt Jaksa Agung RI 2010 Dr. H. Darmono, Komisioner Komisi Kejaksaan RI Dr. Heffinur, mantan Kepala PPATK Dr. Muhammad Yusuf, Rektor Universitas Insan Cita Indonesia Prof. Dr. La Ode Masihu Kamaluddin, serta Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa asas praduga tak bersalah merupakan prinsip fundamental dalam hukum pidana. Setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Prinsip ini dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional, termasuk KUHAP dan Deklarasi Universal HAM.
Dr. Rudy menilai, praktik menampilkan tersangka secara terbuka berpotensi menimbulkan stigmatisasi dan pelanggaran hak asasi. Karena itu, ia mendorong adanya perlindungan hukum, baik secara preventif maupun represif.
“Perlindungan preventif dapat dilakukan melalui pembatasan eksposur tersangka, pengaturan akses media secara proporsional, penyusunan SOP konferensi pers, serta pelatihan bagi pejabat yang berwenang,” jelasnya.
Selain itu, perlindungan represif juga diperlukan dengan memastikan adanya pengawasan terhadap dugaan pelanggaran prosedur dan etika dalam pelaksanaan konferensi pers. Menurutnya, langkah ini penting agar proses penegakan hukum tetap menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.
Melalui buku ini, Dr. Rudy berharap masyarakat dan aparat penegak hukum memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai batasan konferensi pers dalam perkara korupsi.
“Harapan ke depan, hukum acara pidana yang baru dapat mengatur secara lebih tegas hak-hak tersangka, membatasi eksposur berlebihan di ruang publik, dan menempatkan asas praduga tak bersalah sebagai prinsip utama,” tuturnya.
Ia juga menegaskan bahwa penyempurnaan kaidah hukum di Indonesia harus terus terbuka seiring dinamika sosial dan perkembangan regulasi. Buku Konferensi Pers Untuk Tipikor, Perlukah? diharapkan menjadi bagian dari upaya memperkuat literasi hukum serta mendorong praktik penegakan hukum yang lebih adil, berimbang, dan berperspektif HAM.
Penulis: Sumarlin



