Oleh: Nurul Fitra Handayani, S.T
Mahasiswa Pascasarjana Teknik KelautanInstitut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai lebih dari 95.000 kilometer terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yang memiliki garis pantai lebih dari 500.000 kilometer. Potensi besar ini menjadikan wilayah pesisir Indonesia sebagai jantung ekonomi, sosial, dan ekologi bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan dengan baik dan benar. Namun, di balik pesonanya, kawasan pesisir Indonesia masih menghadapi tekanan yang kian meningkat setiap tahunnya seperti abrasi pantai, pencemaran laut, reklamasi tak terkendali, konflik pemanfaatan ruang, hingga degradasi ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Semua ini menandakan bahwa pengelolaan pesisir di Indonesia masih berjalan sektoral dan parsial yang artinya pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia masih terpisah – pisah antar lembaga, sektor, dan kepentingan. Sudah saatnya Indonesia menegakkan paradigma Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) / Integrated Coastal Zone Management (ICZM) sebagai pendekatan strategis untuk menyeimbangkan kepentingan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan laut.
Mengapa PWPT Penting?
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) bukan hanya sekadar istilah akademik semata, ini adalah kerangka kerja yang mengintegrasikan berbagai sektor perikanan, transportasi laut, pariwisata, industri, pemukiman, dan konservasi dalam satu sistem pengelolaan terpadu. Pendekatan ini menuntut sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, akademisi, masyarakat lokal, dan dunia usaha.
Salah satu penyebab utama atas kegagalan pengelolaan pesisir adalah masih kuatnya sikap ego sektoral antar instansi yang terlibat. Misalnya, proyek reklamasi yang tidak mempertimbangkan sirkulasi arus laut sering menimbulkan sedimentasi di pelabuhan, merusak habitat biota, dan menurunkan pendapatan nelayan tradisional. Pembangunan pelabuhan di berbagai daerah kerap kali berbenturan dengan kawasan mangrove yang seharusnya dilindungi karena minimnya koordinasi antarinstansi.
Di sisi lain, izin untuk kegiatan perikanan, eksplorasi migas, dan pariwisata sering kali tumpang tindih lantaran tidak adanya perencanaan pesisir yang menyeluruh antar lembaga terkait. Upaya rehabilitasi pantai setelah bencana pun sering tak berjalan efektif sebab setiap lembaga melaksanakan programnya sendiri tanpa kerja sama yang jelas.
Semua ini mencerminkan masih kuatnya sikap ego sektoral yang akhirnya membuat pengelolaan pesisir di Indonesia belum berjalan secara terpadu dan berkelanjutan. Dengan PWPT, kebijakan tata ruang pesisir didasarkan pada prinsip keterpaduan ekologi, sosial, dan ekonomi bukan kepentingan jangka pendek.
Belajar dari Praktik Lapangan
Beberapa daerah di Indonesia sebenarnya telah memulai implementasi mengenai PWPT, meski hal itu masih belum berjalan secara optimal. Di Bali, pemerintah daerah menerapkan zonasi pesisir yang menyeimbangkan kawasan wisata dan konservasi.
Di Sulawesi Tenggara, penguatan vegetasi pantai dan penataan aktivitas nelayan dilakukan melalui pendekatan partisipatif masyarakat. Namun, banyak daerah lain masih menghadapi tantangan klasik: tumpang tindih kebijakan, kurangnya data oseanografi, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan minimnya kesadaran publik. Padahal, PWPT sejatinya menuntut governance system yang lintas batas administratif dan berbasis ilmu pengetahuan.
PWPT dan Masa Depan Pesisir
Dalam menghadapi perubahan iklim yang kini semakin nyata, penerapan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) menjadi semakin mendesak. Kenaikan muka air laut, abrasi yang terus meningkat, dan frekuensi cuaca ekstrem telah menjadi ancaman serius bagi sedikitnya 42% wilayah pesisir Indonesia.
Tanpa perencanaan yang matang dan terpadu, kawasan pesisir akan menjadi titik paling rentan terhadap kerusakan ekologi maupun ketidakstabilan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada laut. Melalui PWPT, perencanaan pesisir dapat disusun lebih adaptif dan berbasis ilmu pengetahuan.
Pendekatan ini memungkinkan pembangunan green infrastructure yang tidak hanya melindungi pantai, tetapi juga menghidupkan kembali ekosistemnya seperti mangrove sebagai breakwater alami, pemecah gelombang modular yang ramah lingkungan, hingga rancangan pelabuhan yang disesuaikan dengan proyeksi kenaikan muka air laut. Penanganan semacam ini tidak hanya menekan risiko bencana, tetapi juga mendukung keberlanjutan ekosistem yang menjadi penopang kehidupan masyarakat pesisir.
Lebih dari itu, PWPT membuka peluang ekonomi yang lebih berkelanjutan. Dengan penataan ruang yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kebutuhan masyarakat, sektor perikanan tangkap, wisata bahari, transportasi laut, hingga industri pesisir dapat berkembang tanpa saling menyingkirkan. Keberadaan zonasi yang jelas, koordinasi lintas sektor yang solid, serta pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan menciptakan ruang pesisir yang produktif, tertata, dan tidak memicu konflik pemanfaatan.
Pada akhirnya, masa depan pesisir Indonesia sangat ditentukan oleh keberanian kita meninggalkan pola pengelolaan sektoral dan beralih kepada pendekatan terpadu yang lebih visioner. Melalui PWPT, pesisir tidak hanya dipandang sebagai ruang ekonomi, tetapi juga sebagai aset ekologis dan sosial yang harus dijaga keberlanjutannya bagi generasi hari ini dan yang akan datang.
Meneguhkan Komitmen Nasional
Pemerintah Indonesia telah memiliki dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, implementasinya sering kali berhenti di atas kertas. Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar regulasi baru, melainkan political will dan kolaborasi antarsektor yang nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.
PWPT harus menjadi mainstream policy dalam pembangunan maritim nasional. Akademisi dapat berperan dalam riset berbasis data spasial dan simulasi numerik pesisir; masyarakat lokal diberdayakan melalui pendidikan lingkungan; sedangkan pemerintah harus berani mengintegrasikan kebijakan lintas kementerian dan lintas daerah.
Penutup
Pesisir bukan sekadar tepian negeri, melainkan beranda depan Indonesia yang pertama kali bersentuhan dengan dunia luar. Di wilayah inilah denyut ekonomi, ekologi, dan budaya saling bertemu membentuk karakter bangsa maritim yang telah mengakar sejak berabad-abad lalu. Laut dan pesisir telah memberi kehidupan bagi jutaan masyarakat dari nelayan kecil, pelaku wisata, hingga para penjaga ekosistem yang hidup berdampingan dengan alam.
Namun pesisir juga menjadi ruang yang paling rentan terhadap perubahan, baik karena tekanan pembangunan maupun dampak perubahan iklim yang semakin nyata. Jika kawasan penting ini dikelola secara terpadu dan penuh kesadaran, pesisir tidak hanya menjadi lumbung penghidupan, tetapi juga berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari abrasi, gelombang ekstrem, dan bencana pesisir lainnya. Mangrove, terumbu karang, dan padang lamun adalah warisan ekologis yang tak tergantikan dan semuanya membutuhkan tata kelola yang berpihak pada keberlanjutan.
Di sinilah Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) menemukan relevansinya. PWPT hadir bukan hanya sebagai konsep teknis, tetapi sebagai panduan moral dan arah pembangunan yang menuntut kolaborasi lintas sektor, keselarasan kepentingan, serta penghargaan yang lebih besar terhadap ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Mengelola pesisir secara terpadu berarti menempatkan masyarakat sebagai subjek utama, menguatkan peran pemerintah dalam koordinasi kebijakan, dan membuka ruang bagi dunia usaha untuk berinvestasi secara bertanggung jawab.
Ke depan, masa depan pesisir Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan kita menghilangkan ego sektoral dan menggantinya dengan semangat sinergi. Tanpa keterpaduan, potensi pesisir hanya akan menjadi cerita yang tak pernah terwujud. Tetapi dengan PWPT sebagai kompas, pengelolaan pesisir Indonesia dapat berjalan lebih berkelanjutan, adil, dan bijaksana, sehingga manfaatnya dapat dirasakan bukan hanya hari ini, tetapi juga oleh generasi yang akan datang. Pesisir adalah warisan bersama dan menjaga keberlanjutannya adalah tanggung jawab kita semua.



