Oleh: L.M. Ihsan Thamrin, S.Psi., M.Psi
(Praktisi Psikologi Positif Sultra)
MITRANUSANTARA.id – Aksi demonstrasi mahasiswa sering kali dipersepsikan sebagai luapan emosi dan bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Namun jika kita melihatnya melalui lensa psikologi positif, demonstrasi bukan sekadar ekspresi kemarahan, melainkan cermin dari nilai-nilai moral dan kekuatan karakter, terutama fairness, atau keadilan.
Dalam psikologi positif, fairness merupakan bagian dari kebajikan justice, yaitu kemampuan untuk menilai secara objektif, memperlakukan setiap pihak tanpa bias, dan menegakkan kesetaraan. Ketika mahasiswa turun ke jalan, mereka tidak hanya membawa spanduk dan orasi; mereka membawa semangat moral untuk menuntut keadilan sosial.
Di balik teriakan dan langkah kaki di jalanan, tersimpan motivasi yang jauh lebih luhur: keyakinan bahwa keadilan harus ditegakkan demi kebaikan bersama. Ini bukan sekadar aksi politik, tapi juga refleksi dari kekuatan moral yang tumbuh dari kesadaran sosial.
Mahasiswa, sebagai kelompok intelektual, berperan sebagai moral compass masyarakat. Mereka menjadi pengingat bahwa keadilan bukan hanya idealisme, melainkan kebutuhan dasar kehidupan berbangsa. Dalam konteks psikologi positif, tindakan ini memperlihatkan bagaimana fairness dapat menjadi energi sosial yang mendorong individu untuk bertindak, bukan karena kebencian, tapi karena cinta pada nilai kemanusiaan.
Aksi demonstrasi yang dilandasi semangat keadilan menampilkan keseimbangan antara emosi dan rasionalitas. Ketika mahasiswa mengedepankan fairness, mereka lebih cenderung menghindari kekerasan, memilih dialog, dan berfokus pada solusi. Di sinilah keadilan berperan sebagai pengendali moral, menjaga agar perjuangan tetap berada di jalur positif dan konstruktif.
Lebih jauh, fairness juga menumbuhkan empati sosial. Mahasiswa yang memperjuangkan keadilan tidak hanya memikirkan kelompoknya sendiri, melainkan menyuarakan kepentingan mereka yang lemah dan terpinggirkan.
“Dari sinilah lahir solidaritas, bukan karena kesamaan nasib, tapi karena kesamaan nilai kemanusiaan”.
Dalam perspektif psikologi positif, fairness juga memperkuat resiliensi sosial. Keberanian mahasiswa menyuarakan ketidakadilan menunjukkan daya lenting terhadap tekanan sistemik. Mereka memberi contoh bahwa menghadapi ketimpangan tidak selalu dengan kemarahan, tapi dengan harapan dan aksi yang bermakna.
Namun, keadilan yang diperjuangkan tetap perlu diimbangi dengan kebijaksanaan (wisdom) dan pengendalian diri (self-regulation). Ketika semangat menuntut keadilan kehilangan arah karena emosi, nilai moral dapat berubah menjadi konflik. Karena itu, pendidikan karakter berbasis psikologi positif menjadi penting, agar perjuangan mahasiswa tetap berakar pada kesadaran etis dan empati sosial.
Pada akhirnya, aksi demonstrasi yang berlandaskan fairness menunjukkan wajah lain dari pergerakan mahasiswa: bukan hanya perlawanan, tetapi panggilan moral untuk menegakkan martabat manusia. Melalui perspektif psikologi positif, kita belajar bahwa keadilan tidak sekadar diperjuangkan di jalanan, tetapi juga ditanamkan dalam karakter setiap individu.
“Ketika nilai fairness hidup di hati mahasiswa, maka demonstrasi bukan lagi sekadar teriakan protes, melainkan nyanyian optimisme untuk perubahan sosial yang berkeadilan dan berperikemanusiaan”.



