KENDARI, 23 Oktober 2025 | mitranusantara.id
Polemik mutasi pejabat eselon III dan IV di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara kembali menjadi buah bibir. Bukan semata karena siapa yang dilantik, tetapi karena bagaimana proses itu berlangsung. Di tengah upaya membangun birokrasi modern berbasis sistem merit, publik justru kembali disuguhi praktik yang seolah mengabaikan prinsip objektivitas dan profesionalisme.
Penempatan pejabat di posisi strategis semestinya tidak dilakukan atas dasar like and dislike, apalagi kedekatan personal atau loyalitas politik. Namun, realitas birokrasi daerah sering kali menunjukkan hal sebaliknya. Proses yang seharusnya menjadi ajang penghargaan terhadap prestasi dan kompetensi, justru berubah menjadi panggung transaksional yang mencederai semangat reformasi ASN.
Kewenangan Kepala Daerah dan Batas Etik Birokrasi
Tak ada yang salah dengan kewenangan kepala daerah untuk melakukan mutasi dan promosi pejabat. Itu diatur secara sah dalam berbagai regulasi, mulai dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN hingga Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Namun, kewenangan itu bukan tanpa batas. Ia terikat oleh prinsip-prinsip profesionalitas, proporsionalitas, dan transparansi, tiga pilar yang menjadi fondasi birokrasi modern.
Mutasi pejabat eselon III dan IV memang tidak selalu memerlukan seleksi terbuka seperti jabatan pimpinan tinggi, tetapi tetap wajib mempertimbangkan kompetensi teknis, rekam jejak, dan integritas. Mengabaikan hal itu sama saja dengan melanggar sistem merit yang dijamin oleh undang-undang.
Ironisnya, dalam praktiknya, sering muncul pejabat yang dilantik pada jabatan yang tidak sejalan dengan bidang keahliannya. Ada yang berlatar pendidikan hukum, namun ditempatkan di bidang teknik. Ada pula yang berpengalaman di pemerintahan, tetapi justru dipindahkan ke sektor yang sama sekali baru tanpa alasan fungsional yang jelas. Jika ini dibiarkan, maka profesionalisme ASN hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
Cermin Budaya Patrimonialisme
Kritik pemerhati sosial Basri Matta tentang adanya “sengkarut dalam pengambilan keputusan” sesungguhnya menyentuh inti persoalan yang memperlihatkan kuatnya budaya patrimonialisme dalam birokrasi kita.
Dalam sistem seperti ini, hubungan personal lebih menentukan daripada kinerja. Loyalitas kepada atasan kerap dianggap lebih penting daripada loyalitas terhadap aturan dan kepentingan publik.
Budaya seperti ini berbahaya. Ia merusak semangat meritokrasi, menurunkan motivasi ASN berprestasi, dan pada akhirnya melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Masyarakat berhak bertanya: apakah jabatan itu diperoleh karena prestasi, atau karena kedekatan?
Etika Kepemimpinan dalam Birokrasi
Reformasi birokrasi tidak hanya soal aturan, tapi juga soal etika kepemimpinan. Kepala daerah dan pejabat pembina kepegawaian seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan prinsip good governance sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pasal 3 undang-undang itu menegaskan asas-asas penyelenggaraan negara yang mencakup profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Kewenangan tanpa etika hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan, sementara keputusan tanpa dasar hukum yang kuat hanya akan memperlemah kepercayaan rakyat terhadap birokrasi.
Menjaga Kepercayaan Publik
Publik kini semakin cerdas. Masyarakat bisa menilai dengan jernih apakah sebuah mutasi mencerminkan penghargaan terhadap prestasi, atau sekadar bentuk balas jasa politik. Dalam situasi seperti ini, pemerintah daerah seharusnya menjadikan transparansi dan kepatutan sebagai bagian dari tanggung jawab moral, bukan sekadar kewajiban administratif.
Mutasi pejabat bukan hanya urusan internal birokrasi, melainkan juga ukuran kredibilitas pemerintahan di mata publik. Jika dilakukan dengan penuh integritas, ia akan memperkuat sistem. Tapi jika dijalankan tanpa kejelasan dasar dan etika, ia hanya akan memperpanjang daftar kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi.
Penghujung kata
Tajuk ini bukan bermaksud menyoal hak kepala daerah, melainkan mengingatkan bahwa setiap jabatan adalah amanah, bukan hadiah politik.
Kewenangan tanpa transparansi adalah sumber kecurigaan, dan mutasi tanpa meritokrasi adalah langkah mundur dalam reformasi birokrasi.
Sudah saatnya pemerintah provinsi menempatkan ASN pada posisi sesuai kompetensi dan integritasnya, bukan karena kedekatan, tapi karena kemampuannya melayani rakyat.
“Sebab jabatan publik sejatinya bukan simbol kekuasaan, melainkan sarana pengabdian”.
Redaksi Mitranusantara.id
Mitranya Masyarakat Indonesia



